Mahasiswa dan Etika Drone: Apakah Kita Sedang Mencetak Inovator atau Operator Perang?
Teknologi drone semakin berkembang pesat dan kini tak lagi menjadi barang asing di dunia pendidikan tinggi. Di banyak kampus, terutama yang memiliki jurusan teknologi, robotika, atau sistem informasi, pengembangan drone menjadi proyek yang sangat populer. Mahasiswa berlomba-lomba menciptakan drone yang lebih pintar, lebih cepat, dan lebih multifungsi.
Namun, pertanyaan penting mulai muncul: apakah inovasi ini hanya sekadar kebanggaan teknis? Atau justru tanpa sadar, kita sedang mendidik generasi baru yang terlibat dalam industri militer dan konflik bersenjata?
Drone memang punya banyak sisi positif. Di sektor sipil, teknologi ini bisa digunakan untuk pemetaan lahan pertanian, pengawasan lingkungan, pengiriman barang, hingga penyelamatan korban bencana. Mahasiswa yang terlibat dalam proyek-proyek ini bisa belajar banyak tentang pemrograman, aerodinamika, dan sensor teknologi.
Sayangnya, tidak sedikit proyek drone yang secara langsung atau tidak langsung terhubung dengan militer. Banyak negara dan perusahaan pertahanan memanfaatkan teknologi drone untuk pengawasan wilayah, serangan udara, atau bahkan misi mata-mata. Yang menjadi kekhawatiran adalah ketika riset di kampus malah menjadi batu loncatan bagi pengembangan sistem senjata.
Etika menjadi kunci dalam pembahasan ini. Sebagai calon profesional dan ilmuwan masa depan, mahasiswa perlu memiliki kesadaran moral atas apa yang mereka ciptakan. Bukan hanya soal "bisa atau tidak", tapi juga "untuk siapa" dan "untuk apa" teknologi itu dibuat.
Kampus memiliki peran penting dalam hal ini. Pengembangan teknologi harus dibarengi dengan diskusi etika, hak asasi manusia, dan dampak sosial dari inovasi tersebut. Dalam kurikulum, idealnya mahasiswa tak hanya diajarkan cara membangun drone, tapi juga diberi ruang untuk berpikir kritis mengenai konsekuensinya.
Perlu diingat, banyak konflik bersenjata saat ini memanfaatkan drone secara masif. Bahkan serangan drone bisa dilakukan dari jarak ribuan kilometer tanpa pelaku melihat langsung dampaknya. Ini menciptakan jarak emosional yang berbahaya—orang bisa "menyerang" tanpa merasa bertanggung jawab.
Di sinilah mahasiswa harus menyadari bahwa teknologi adalah alat. Yang membuatnya baik atau buruk adalah niat dan tujuan penggunaannya. Jika kampus hanya fokus pada kemampuan teknis tanpa membangun fondasi etis, maka hasilnya bukanlah inovator, tapi operator perang.
Sebaliknya, jika mahasiswa diarahkan untuk menciptakan drone yang membantu masyarakat, mendukung kehidupan, dan memperbaiki dunia, maka teknologi akan menjadi alat kemanusiaan yang luar biasa.
Sebagai penutup, pertanyaannya bukan hanya apakah kita mampu menciptakan drone yang hebat. Tapi apakah kita mampu menciptakan drone yang berguna tanpa melukai kemanusiaan? Dan apakah para mahasiswa kita sedang dilatih untuk berpikir sebagai pencipta solusi atau hanya sebagai pelaksana kebijakan yang tidak mereka pahami?
Jawabannya tergantung pada arah pendidikan yang kita pilih hari ini.
Komentar
Posting Komentar