Ketika Drone Menjadi Senjata, Kampus Harus Jadi Penjaga Nurani
Dulu, drone dikenal sebagai mainan canggih atau alat bantu fotografi yang keren. Ia terbang di langit dengan lincah, merekam panorama alam, acara pernikahan, atau kegiatan luar ruangan. Namun kini, wajah drone berubah. Ia tak lagi sekadar alat hobi atau teknologi sinematik. Dalam banyak konflik modern, drone telah menjelma menjadi senjata.
Drone kini digunakan untuk menyerang, memata-matai, bahkan menghancurkan target dari jarak jauh. Efisiensinya membuat banyak negara dan kelompok militer mengandalkan drone dalam strategi tempur. Tanpa perlu mengirim pasukan ke medan perang, kerusakan bisa ditimbulkan dari jarak ratusan kilometer. Inilah wajah baru peperangan — sunyi, tanpa peringatan, tapi mematikan.
Teknologi memang netral. Ia tidak punya niat. Tapi tangan siapa yang mengendalikannya, itulah yang menentukan arah. Di sinilah kita harus mulai bertanya: ke mana peran institusi pendidikan tinggi, khususnya kampus, dalam era seperti ini?
Kampus bukan hanya tempat belajar teori, mendapatkan nilai, atau mencari gelar. Kampus adalah tempat tumbuhnya pemikiran, nilai moral, dan tanggung jawab sosial. Maka, ketika teknologi seperti drone mulai digunakan untuk kehancuran, kampus harus mengambil peran penting: menjadi penjaga nurani.
Sebagai lembaga yang mengedepankan ilmu pengetahuan, kampus memiliki dua tugas utama. Pertama, memastikan bahwa teknologi yang diajarkan dan dikembangkan memiliki tujuan yang bermakna bagi kemanusiaan. Kedua, mendidik mahasiswanya agar tidak hanya pandai dalam hal teknis, tapi juga bijaksana dalam pengambilan keputusan.
Misalnya, di fakultas teknik atau teknologi informasi, mahasiswa bisa saja belajar membuat sistem navigasi drone, kecerdasan buatan untuk otonomi penerbangan, atau teknologi sensor jarak jauh. Tapi jangan berhenti di situ. Tambahkan pelajaran etika teknologi, pemahaman terhadap hak asasi manusia, dan wawasan tentang dampak sosial dari inovasi.
Dengan begitu, lulusan tidak hanya menjadi teknisi atau insinyur yang mahir, tapi juga menjadi manusia utuh yang berpikir panjang. Mereka bisa bertanya sebelum mencipta: “Apakah ini akan menyelamatkan nyawa atau justru mengambilnya?”
Perlu diingat, banyak teknologi yang awalnya dibuat untuk kebaikan, bisa berubah arah jika nilai-nilai kemanusiaan tidak menjadi penuntunnya. Maka, kampus tidak boleh hanya menjadi pusat pengembangan kecerdasan buatan, tetapi juga harus menjadi benteng kecerdasan hati.
Selain itu, kampus harus aktif berdialog dengan masyarakat, pemerintah, dan industri. Kampus harus menyuarakan bahwa teknologi tanpa nurani bisa berbahaya. Suara dari akademisi, dosen, dan peneliti bisa menjadi penyeimbang dalam diskusi tentang penggunaan teknologi canggih untuk pertahanan.
Di tengah era digital yang semakin cepat dan kompleks, suara nurani ini sangat dibutuhkan. Karena pada akhirnya, yang membedakan kita dari mesin bukan hanya kecanggihan otak, tapi kepekaan hati.
Jadi, ketika drone menjadi senjata, jangan biarkan kampus diam. Biarkan kampus berdiri tegak — menjaga nurani, menyuarakan nilai, dan memastikan teknologi selalu berada di sisi kemanusiaan.
Komentar
Posting Komentar